Jumat, 01 Januari 2021

WONDER WOMAN 1984 (2020) REVIEW: Petualangan Terbaru Diana Prince yang Lebih Personal

Di antara semua judul-judul besar yang mau mundur atau lari ke streaming services, ada beberapa judul pula yang memberanikan diri untuk tetap rilis di tengah keringnya film-film yang tayang di bioskop. Tentu, semua dengan harapan ingin ditonton oleh penontonnya. Meskipun dengan protokol kesehatan yang ketat, limitasi kursi penonton, dan masih banyak hal-hal kecil lain yang bisa jadi perhatian.

Warner Bros Pictures telah merilis dua filmnya ke pasar domestik dan internasional. Tenet milik Christopher Nolan dan selanjutnya adalah Wonder Woman 1984. Iya, sekuel dari Wonder Woman ini akhirnya dilepas untuk penontonnya. Tetapi, ada 2 cara penontonnya bisa menikmati film ini. Lewat bioskop tentu saja serta langganan streaming service HBO Max yang hanya dimiliki oleh para penduduk di Amerika Serikat sana.


Langkah yang berani.


Mungkin itu yang sedang dijalankan oleh Warner Bros Karena tak mau terus menerus menahan filmnya tanpa ada yang menghasilkan. Wonder Woman 1984 ini tetap dipegang kendalinya oleh sang sutradara film pertamanya, Patty Jenkins. Tentu saja, Gal Gadot tetap menjadi sang superhero bernama Diana Prince ini. Semakin meriah, Karena ada banyak nama-nama baru yang bergabung menjalankan proyek satu ini.


Kristen Wiig dan Pedro Pascal. Dua nama yang bergabung di dalam sekuel pahlawan super Perempuan dari Themyscira ini. Mereka menjadi super villain yang menghadang jalan Wonder Woman untuk bisa menyelamatkan dunia.



Lantas, apa yang terjadi oleh Diana Prince kali ini?


Berpuluh-puluh tahun semenjak Wonder Woman pertama, kali ini Diana Prince (Gal Gadot) hidup di tahun 1980-an. Di mana, banyak sekali perubahan yang terjadi di dalam hidupnya. Tetapi, satu hal yang tak berubah adalah kebenaran yang dianut olehnya sebagai sosok Wonder Woman dan cintanya kepada belahan hatinya, Steve (Chris Pine). Meski dia sudah pergi berpuluh-puluh tahun dan Diana telah menjalani berbagai macam kehidupan, tetapi hidupnya tetap dibayangi oleh sang kekasih hati.


Hingga akhirnya, di tempat Diana sedang bekerja, dia menemukan Sebuah batu yang sedang diteliti. Konon Katanya, batu tersebut bisa mengabulkan keinginan siapapun yang memegangnya. Tetapi, batu tersebut diteliti terlebih oleh Diana dan rekan kerja barunya, Barbara Minerva (Kristen Wiig). Di lain hal pula, seorang pengusaha bernama Maxwell Lord (Pedro Pascal) juga mengincar batu tersebut untuk menguasai dunia.



Mengantarkan satu film dengan adanya dua villain yang berbeda menjadi hal yang harus benar-benar diperhatikan. Meskipun, adanya villain yang tak Hanya satu ini sudah sering dipakai formulanya oleh DC films lantas tak semuanya berhasil dilakukan. Wonder Woman pertama pun sudah pernah memakai formula serupa. Nyatanya, semuanya terlalu dipermukaan dengan motif yang tak terlalu kuat.


Kelemahan yang ada di film pertamanya inilah yang sepertinya ingin diperbaiki oleh Patty Jenkins di film keduanya. Lewat Wonder Woman 1984, Patty Jenkins bisa mengenalkan karakter-karakter villain-nya dengan matang. Tetapi, dengan adanya ruang yang besar untuk para karakter-karakter lain untuk berkembang, ada juga yang harus dikorbankan. Durasi dari Wonder Woman 1984 harus merentang hingga 150 menit.


Mengurangi pula spektakel aksi di dalam filmnya hingga Wonder Woman 1984 ini berfokus kepada plot cerita. Tidak ada yang salah memang, Karena Wonder Woman 1984 juga cukup berhasil mengantarkan ceritanya dengan sangat menarik. Bukan karakter penjahatnya saja, tetapi juga karakter Diana yang juga ikut berkembang, ikut memperlihatkan berbagai macam emosi yang memperlihatkan sisi manusiawi di dalam dirinya sebagai pahlawan super.



Menunjukkan hati yang besar untuk bisa dirasakan penontonnya.


Inilah yang menjadi hal utama dari Wonder Woman 1984. Selama spektakel aksi tak bisa ditunjukkan terlalu banyak, tetapi penuturan kisahnya yang Penuh hati ini sangat menarik untuk diikuti. Penyampaian kisahnya yang emosional dan penuh harapan ini membuat Wonder Woman 1984 sangat nyaman untuk diikuti. Meski membangun tensinya perlahan, tapi penonton bisa paham benar dengan semua latar belakang kisahnya setiap karakternya.


Apa yang membuat Diana bisa memperlihatkan sisi vulnerability-nya yang jarang terlihat seperti di film sebelumnya. Bagaimana Barbara dan Maxwell akhirnya bisa mendapatkan kekuatan dan tak mau melepaskan hal tersebut dari hidupnya. Meskipun, harus ditutup dengan penyelesaian yang seperti ala kadarnya dan terasa penuh khutbah. Tetapi, masih ada segala macam emosi yang ditunjukkan di dalam filmnya.


Perasaan penuh kasih, penuh cinta, dan penuh harapan. Hal-hal itu yang bisa dirasakan selama menonton film ini. Penuturan Patty Jenkins yang lembut di dalam film ini seakan menunjukkan bahwa perempuan dalam mengarahkan sebuah film memiliki keunggulannya dalam menuturkan rasa di dalamnya. Dibalut pula dengan akting Gal Gadot yang terlihat semakin matang. Chemistry-nya dengan Chris Pine sebagai sepasang kekasih yang sudah lama tak Bertemu bisa membuat penontonnya menaruh simpati.



Tak dengan kekurangan pula. Film yang sudah dibangun megah ini memiliki penyelesaian konflik yang terlalu mudah. Mungkin karena penggambaran karakter villain yang terlalu kuat juga jadi faktor utamanya. Terlebih final battle yang ada di film ini tak bisa menyamai kualitasnya dengan beberapa battle

scene yang ada di paruh awal dan tengahnya. Satu mitos legenda yang digunakan di dalam cerita di film ini tentang Asteria pun tak bisa tampil sempurna. Sehingga beberapa build-up cerita di awal seperti tidak ada pengaruh apa-apa. 


Tak ada kesan cynical di dalam Wonder Woman 1984 yang membuat filmnya semakin menyenangkan untuk diikuti. Apalagi, menyematkan Sebuah tribute ke beberapa film Superman di awal-awal film ini dan atmosfir yang sama ini juga menjadi kelebihan Wonder Woman 1984 dibanding film sebelumnya. Tak salah, apabila Warner Bros dan DC Films menunjuk Patty Jenkins untuk mengarahkan seri ketiga dari Wonder Woman nanti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar