Tema rasis memang sering di gunakan oleh sineas Hollywood untuk
membuat suatu karya. Lee Daniels kali ini mencoba untuk mengangkat tema ini ke
dalam sebuah film semi biopic tentang kepala pelayan berkulit hitam. The Butler
adalah judul yang di gunakan oleh Lee Daniels di film terbarunya kali ini.
Cecil Gaines (Forest Whitaker) adalah seorang anak dari penjaga kebun.
Ayahnya meninggal di tembak pemilik kebun dan Ibunya menjadi gila karena
mengalami trauma pernah di perkosa oleh pemilik kebun. Akhirnya Cecil pun di
ajari oleh seorang wanita tua bernama Annabeth (Vanessa Redgrave) untuk menjadi
seorang pelayan.
Akhirnya setelah dewasa, dia pun berkelana mencari pekerjaan. Dia pun
berpindah-pindah. Dari menjadi pelayan sebuah toko, lalu menjadi pelayan di
sebuah hotel bintang lima, dan akhirnya dia di rekomendasikan menjadi Kepala Pelayan
di Istana Negara milik Amerika. Dia pun mendedikasikan penuh dirinya selama
berpuluh-puluh tahun di tempat itu.
Another Colored-skin racism story
Kulit hitam serta konflik-konfliknya sering sekali di angkat oleh
sineas hollywood ke dalam sebuah gambar bergerak di layar. Tema-tema rasisme
itu sepertinya masih menjadi suatu hal yang bisa diangkat dan mencuri perhatian
banyak orang. Crash, film yang juga
bertema rasisme itu pun masih bisa mencuri para juri Academy Awards dan menobatkan film itu menjadi Best Picture di tahun 2004. Tiap tahunnya, banyak film nominee Best Picture Academy Awards yang
memiliki tema tentang orang kulit hitam dan tema rasisme kepada orang kulit
berwarna.
The Help dan Django Unchained contohnya. Pengangkatan
tema tentang Colored-skin people
dengan treatment yang berbeda. The Help lebih mengarahkan film ini
menjadi Drama melankolis dan penuh tangis haru. Django Unchained lebih menuju sebuah film Spaghetti Western dan lebih gila. Mereka menjadi dua film favorit
saya. Lee Daniels pun mengangkat tema
yang sama tapi dengan sentuhan biopic
tentang seorang Kepala Pelayan yang juga berkulit hitam.
The Butler sendiri di ambil dari kisah nyata. The Butler tidak seperti
The Help yang di sadur dari novel.
Tapi, treatment mereka memiliki kesamaan. Membawa film ini menjadi film drama melankolis yang penuh
inspirasi. Tapi sayangnya, saya lebih menyukai film The Help ketimbang The
Butler. Dari segi kisah, kita akan menyaksikan berbagai konfliknya yang biasa
saja. Beberapa perlakuan dari sang sutradara yang membuat film ini malah
terkesan biasa saja meskipun ini jelas film ini sangat ‘Academy Awards’ dan bisa masuk ke dalam nominasi.
Penuturan Lee Daniels untuk film ini masih kurang tertata jika saya
boleh bilang. Awal film ini, sangat di ceritakan dengan begitu cepat. Tanpa ada
penjelasan yang lebih lagi terutama keluarga dari Cecil sendiri. Konflik-konfliknya
terjadi begitu cepat di awal film. Lee Daniels seperti masih kurang total dalam
menggarap film ini. Sehingga film Biopic ini masih berjalan setengah-setengah.
Malah banyak side story nya yang
terlihat tidak nyata untuk menjadikan film ini menjadi film biopic.
Saya seperti masuk ke dalam dunia fiksi layaknya The Help. The Butler
masih kurang bisa menggali lebih dalam lagi siapa itu Cecil. The Butler lebih
ke konflik Cecil dengan Keluarganya. Dengan penokohan yang sedikit ngeblur tentang Cecil sendiri yang notabene
adalah karakter utamanya. Banyaknya karakter-karakter di film ini yang masih
diperhatikan juga. Daripada memilih satu karakter utama yang benar-benar di
gali lebih dan terfokus. Itulah kelemahan The Butler.
Hit and Miss moment and Forest Whitaker makes this movie better.
Karena penggarapan yang menurut saya masih setengah-setengah, banyak
sekali momennya yang kadang mengena dan kadang tidak. Karena ada beberapa
momennya yang mampu menyentuh hati penontonnya kala menyaksikan film ini. Tapi
ada juga yang akhirnya juga gagal. Karena cerita yang di tuturkan masih kurang
membangun momennya. Penuturan ceritanya yang kurang baik dan terkesan
terburu-buru itulah yang akhirnya membuat momen mengharukan yang inginnya di
tampilkan oleh Lee Daniels pun gagal di sajikan.
Maka, yang berhasil memberikan momennya adalah Forest Whitaker yang
memerankan karakter Cecil dengan baik. Dia terlihat total dan bermain dengan
bagus menjadi sosok Cecil, Kepala Pelayan yang bertugas dengan penuh tanggung
jawab. Sepertinya, Forest Whitaker setidaknya akan masuk ke dalam nominasi Oscar dalam Best Actor tahun ini. Permainan mimik dan bagaimana dia mendalami
sosok Cecil inilah yang mampu mengangkat semua momen haru biru di adegan film
ini.
Untuk cast-cast yang lain, Oprah Winfrey juga melaksanakan tugasnya
dengan baik. Meskipun saya sangsi dia akan mendapatkan nominasi. David Oyelowo
yang juga menjadi sorot banyak di banyak konflik film ini juga masih bermain
bagus. Nama-nama lain seperti Terrence Howard, James Marsden, Alan Rickman, dan
John Cusack mampu bermain menghiasi layar dan membuat film ini berwarna. Serta
penampilan singkat Alex Pettyfier dan Mariah Carey hanya pemanis saja di film
ini.
Sukanya, The Butler pun memberikan penggambaran-penggambaran yang
asyik tentang periode kepemimpinan banyak Presiden Amerika. Inilah yang membuat
saya setidaknya menikmati film ini. Periode-periode dari presiden Amerika seperti
John F. Kennedy, Richard Nixon, Ronald Reagan dan yang lainnya menjadi
presentasi menarik. Memperlihatkan keadaan-keadaan pemerintahan yang mencoba
untuk mengatasi perseteruan antara white-skin people dengan colored-skin people
di Amerika yang memang sering terjadi.
Overall, The Butler adalah
sebuah film Biopic yang tidak jelek tapi tak juga bagus sekali. Masih sangat
bisa di nikmati. Menjadi sebuah film dengan tema rasisme lainnya yang mungkin
akan mencuri hati juri Academy Awards tahun ini. Bukan yang terbaik di temanya,
tapi Forest Whitaker masih bisa mengangkat momen haru biru di film ini.
apakah tujuan dari film ini ?
BalasHapus