Science Fiction sekali lagi menyapa para penikmat film. Tahun ini, Oblivion, Star Trek, dan Gravity merupakan film Science fiction
yang di rilis. Ender’s Game, film
science fiction ini di angkat dari novel milik legendaris Orson Scott Card. Ditangani oleh Sutradara X-Men Origins : Wolverine, Gavin
Hood serta dibintangi oleh jajaran cast kaliber oscar di dalam filmnya.
Bumi telah diserang oleh sebuah
makhluk bernama Formics. Mereka mencoba untuk menghancurkan bumi. Tapi, seorang
bernama Mazer Rackham berhasil menghancurkan sebuah kapal induk milik Formics.
Tapi, Formics masih saja menginvasi bumi. Colonel Hyrum Graff (Harrison Ford)
mencoba untuk mencari seorang pemimpin yang bisa mengalahkan Formics.
Andrew ‘Ender’ Wiggin (Asa
Butterfield) adalah anak terakhir dari keluarga Wiggin. Dia didapuk oleh
Colonel Hyrum Graff untuk mengikuti akademi untuk mengalahkan Formics. Karena,
kedua kakaknya Valentine (Abigail Breslin) dan Peter (Jimmy Pinchax) adalah
siswa berbakat di dalam akademi tersebut. Maka dari itu, Andrew direkomendasikan
untuk ikut dan dia menerimanya.
Another Breathtaking science-fiction with space template movie.
Science Fiction adalah sebuah tema yang personal bagi saya. Banyak
film-film bertema fiksi ilmiah yang membuat saya berdecak kagum. Avatar, film milik James Cameron ini benar-benar membuat saya berdecak kagum dan bisa
jadi menjadi salah satu film terbaik saya hingga saat ini. Tapi, film science
fiction dengan tema outer space
adalah yang paling saya sukai. Star Wars?
Tidak, saya belum menontonnya. Masih banyak film dengan setting outer space
lain yang membuat saya menyukainya.
Tahun ini, Empat film bertema
sci-fi di rilis. Oblivion, After Earth,
Star Trek Into Darkness, serta yang paling baru Gravity. Tiga dari empat film yang di rilis tahun ini benar-benar
membuat saya kagum. Bahkan film dengan pace yang lambat seperti Oblivion pun
mampu membuat saya menyukainya. Tapi, tidak untuk After Earth yang benar-benar merusak mood saya saat menonton film.
Yap, After Earth masuk ke dalam Worst-List movies saya tahun ini. Maka,
saat trailer Ender’s Game mulai muncul, saya sudah memasukkan film ini dalam
list tontonan wajib saya.
Bicara tentang trailer dari Ender’s
Game, saya tidak menemukan sesuatu menarik. Persis sama saat saya menyaksikan trailer milik After Earth. Takutnya, Ender’s Game akan jatuh seperti After Earth. Tapi, dengan banyaknya cast
kaliber oscar seperti Asa Butterfield, Abigail Breslin, Harrison Ford, serta
Viola Davis jelas membuat saya tertarik. Sejelek apapun filmnya jika masih ada
aktor dan aktris yang bisa bermain dengan baik, sepertinya tidak akan jatuh
terlalu buruk. Tak seperti After Earth
yang benar-benar jatuh dari segi cerita dan akting sangat kaku dan menganggu
milik Jaden Smith.
Gavin Hood, diutus untuk
menginterpretasikan buku legendaris milik Orson
Scott Card ini dengan media film. Mengingat record Gavin Hood masih gagal
dalam mengangkat X-Men Origins Wolverine,
Saya cukup khawatir dengan proyek ini. Tapi, Gavin Hood seperti belajar dari
film manusia bercakar adamantium itu. Ender’s Game sangat berhasil diarahkan
oleh Gavin Hood dengan baik. Mengesankan, mata saya terbelalak saat semua
adegan di film ini mampu dipresentasikan dengan sangat baik dan cantik.
Gavin Hood bisa mengarahkan Ender’s
Game dengan baik. Presentasinya begitu mengesankan. Membuat saya sangat
menikmati benar apa yang terjadi di film dari awal hingga akhir. Pace-nya begitu di jaga dari awal hingga
akhir. Meskipun sangat obvious bahwa Gavin Hood masih belum menemukan
kefokusannya di awal film ini. Sayangnya, karakter-karakter di dalam film ini
kurang digali begitu dalam. Banyak informasi-informasi penting yang dibawa oleh
setiap karakter di film ini malah terkesan tidak digali lagi. Informasi itu
dibiarkan menggantung dan membuat saya bertanya-tanya “What actualy happened?” saat menyaksikan film ini.
Terlebih untuk karakter Ender
yang notabene adalah pemeran kunci keseluruhan film ini. Yap, saya masih
bingung ada apa yang terjadi antara Ender, Akademi, dan juga keluarganya. Gavin
Hood masih keteteran dalam menggali kedalaman karakter Ender. Terkesan masih
setengah-setengah dan membiarkan banyak hal menggantung dan membuat saya yang
bukan pembaca novelnya menjadi kurang paham apa yang terjadi dengan Ender
sebenarnya. Mungkin, beberapa dialog yang disampaikan kelewat singkat. Pintarnya, film ini malah menjadi meninggalkan pertanyaan tanpa pernyataan jelas. Bukan film yang menjelaskan isinya dengan instan.
Medium penjelasan lewat film
memang kadang terbatas. Informasi-informasi penting yang kita dapatkan lewat
membaca sebuah buku itu bisa saja tidak kita dapatkan saat menonton filmnya. Karena
untuk menginterpretasikan sebuah buku itu memang sulit. Sebuah medium yang
berbeda yang tidak bisa kita bandingkan mentah-mentah. Karena fantasi lewat
kata-kata bisa dibilang memiliki pandangan lebih luas ketimbang lewat sebuah
gambar bergerak. Karena, lewat gambar bergerak kita masih memikirkan tingkat logis
yang ada di dunia nyata.
Tapi, dimensi karakter di film
ini yang kurang dalam ternyata tidak menganggu banyak sekali
kelebihan-kelebihan lain yang sangat mengagumkan. Tidak mengurangi efek breathtaking yang disajikan oleh Gavin
Wood di film ini.Tensi benar-benar terjaga hingga akhirnya saya bisa merasakan
adegan klimaksnya yang benar-benar menyita perhatian dan nafas saya. Ender’s Game is totally breathtaking,
groundbreaking, and another good thing i give it to it. Beberapa adegan
mengingatkan saya kepada film Gravity
dan juga beberapa mengingatkan saya dengan Star
Trek.
Betapa pintarnya Gavin Hood
mengarahkan film ini dan juga sekaligus mengolah naskahnya dengan bagus.
Sebagai penonton yang tidak membaca novelnya, plot twist yang disajikan di film ini cukup membuat saya kaget. Plot Twist di film ini di sampaikan
dengan baik, terfokus, dan tidak meluber sehingga memberikan efek mind-blowing yang cukup kuat. Film ini lebih berisikan cerita yang menyindir banyak hal tentang realita sosial
yang terjadi dalam rangka mengeksploitasi anak kecil dibawah umur demi
melaksanakan kepentingan negara. Karena hal itu banyak terjadi di era
ini.
Belum lagi, emosi yang terjalin di film ini juga memiliki efek yang kuat dalam penyampaian filmnya. Sehingga, Excitement yang diberikan benar-benar besar dan sangat terasa di dalam film ini. Mungkin juga faktor Orson Scott Card yang menjadi Executive Producer sehingga masih mengawasi pembuatan naskah dan film ini maka terlihat begitu bagus.
Belum lagi, emosi yang terjalin di film ini juga memiliki efek yang kuat dalam penyampaian filmnya. Sehingga, Excitement yang diberikan benar-benar besar dan sangat terasa di dalam film ini. Mungkin juga faktor Orson Scott Card yang menjadi Executive Producer sehingga masih mengawasi pembuatan naskah dan film ini maka terlihat begitu bagus.
Butterfield’s powerful act and other great casts.
Juru kunci dalam sebuah film
menurut saya adalah sutradara, script,
dan juga aktor-aktris yang bermain di dalam film ini. Jika seorang
sutradara gagal menginterpretasikan sebuah skenario, maka gagal lah film itu.
Begitu pula sebaliknya. Maka, jika kedua unsur dalam film itu gagal, hal yang
masih bisa di selamatkan dalam sebuah film adalah jajaran aktor-aktris yang
bermain di film ini. Jika, mereka bisa memerankan karakter dengan baik maka
film itu setidaknya masih memiliki hal yang dapat di nikmati seperti film The Host yang dibintangi Saoirse Ronan itu. Tapi jika tidak, akan
gagal layaknya film After Earth milik
M. Night Shyamalan.
Maka, Ender’s Game memang masih
kacau dalam memberikan intensif drama dan penggalian karakter yang ada. Tapi,
kekuatan lain muncul di film ini. Tak hanya pace cerita, tensi ketegangan, dan
visualnya yang cantik, tapi juga dari aktor-aktris yang bermain di dalamnya.
Aktor-aktris kaliber oscar seperti Asa Butterfield, Abigail Breslin, Harrison Ford,
dan Viola Davis mampu blend dengan film dan karakternya. Membuat satu kesatuan
yang bagus dan membentuk emosi yang kuat di dalam film ini.
Mungkin, pemain-pemain lain
seperti Viola Davis, Harrison Ford, serta Abigail Breslin tidak memiliki
performa akting yang siginifikan terlihat di dalam film ini. Asa Butterfield
lah yang mengambil semua spotlight di film ini. Yap, anak kecil yang pernah saya
lihat di film The Boy In The Stripped
Pajamas dan Hugo ini selalu
memiliki totalitas akting yang bagus dan yah, dia sudah beranjak remaja. Dia
mampu menjadi sosok Andrew ‘Ender’ Wiggin
yang pintar, diam tapi menghanyutkan serta memiliki emosi yang cukup labil di
film ini.
Dia pun berhasil menjalin chemistry yang baik dengan Abigail
Breslin. Yap, sekali lagi aktor-aktris yang pernah kita saksikan kepiawaiannya dalam
berakting saat masih kecil, sudah beranjak dewasa. Begitu pula dengan Abigail Breslin
yang juga sudah bertransisi menjadi cewek remaja. Si Little Miss Sunshine itu sudah besar. Semua karakter di film ini
mampu terkoneksi satu sama lain, sehingga kekuatan emosi di film ini juga
datang dari jajaran akting mereka yang luar biasa.
Belum lagi dari sisi teknis, sang
DOP mampu menangkap keindahan-keindahan yang ada. Menggunakan transisi kamera yang
begitu dinamis terutama di final act film
ini sehingga memiliki intensitas yang begitu kuat di dalam filmnya. Membuat
film ini semakin terasa menyita perhatian dan nafas saya semenjak awal film dan
final act yang benar-benar besar dan
mengagumkan itu. Banyak adegan yang tertangkap di film ini memang ditujukan untuk menonton dalam format IMAX. Karena experience-nya pasti akan jauh lebih terasa.
Overall, Ender’s Game adalah film adaptasi novel yang mungkin masih
memiliki dimensi karakter yang kurang dalam dan intensitas drama yang kurang.
Tapi, kekuatan lain muncul dan mendominasi semua kelemahan yang ada di film
ini. Visual yang cantik, pace yang terjaga hingga akhir film, kekuatan akting
aktor-aktris dan juga final act yang luar biasa megah itu membuat saya
benar-benar mengagumi film adaptasi novel ini. Totally awesome and
breathtaking.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar