Noah adalah salah satu band dari Indonesia yang kiprahnya
sudah bagus meskipun setelah beberapa kali mengalami pasang surut. Hal ini
menginspirasi Putrama Tuta, Sutradara Catatan Harian Si Boy untuk mengangkat
kisahnya dalam film dokumenter tentang band ini. Noah : Awal Semula menjadi
judul dari dokumenter perjalanannya.
Peterpan adalah sebuah band yang terdiri dari Ariel, Uki,
Reza, Lukman, Andika, dan Indra yang awalnya adalah sebuah band kecil dari
Bandung. Karirnya saat Peterpan bisa dibilang sangat memuaskan di industri musik
Indonesia. Hingga akhirnya, dua personil milik mereka harus melepaskan diri
dari Peterpan. Band ini pun meredup
Tak hanya berhenti disitu, karir mereka semakin tersudut
ketika sang vokalis, Ariel tersangkut masalah. Band ini benar-benar mati dan
kering. Tapi, ketika vonis milik Ariel berakhir, Band ini mulai bangkit kembali
menjadi band baru bernama NOAH dengan tambahan yaitu David sebagai pengganti.
A goosebumps rockumentary NOAH’s show
Band memiliki sebuah film? Rasanya sudah banyak.
Contohnya The Changcuters yang sudah memiliki trilogi The Tarix Jabrix yang
disutradarai oleh alm. Iqbal Rais. Ungu yang memiliki Purple Love yang
disutradarai Guntur Soeharjanto. Sayangnya, film-film milik mereka adalah
sebuah film fiksi bukan sebuah film tentang band itu sendiri yang dibawakan
secara real layaknya concert movie milik musisi-musisi Hollywood.
NOAH, salah satu band terkenal Indonesia yang memiliki
pasang surut dalam karirnya menginspirasi Putrama Tuta untuk mengajak mereka
bermain dalam sebuah film. Bagusnya, film yang diusung oleh Putrama Tuta kepada
band Noah ini adalah sebuah dokumenter perjalanan karir milik band ini. Sebuah film
yang bisa dibilang baru di dunia perfilman Indonesia. Mengingat kebanyakan film
dari sebuah band hanyalah membintangi dan beradu akting dalam film fiksi yang
hanya mengandung unsur senang-senang.
Genre
Dokumenter tentang perjalanan musik karir adalah hal baru pertama di perfilman Indonesia. Pendekatan yang berbeda dari musisi kepada
fansnya. Mengumpulkan footage-footage dari perjalanan band yang awalnya bernama
Peterpan ini hingga akhirnya berevolusi menjadi band hebat bernama Noah.
Putrama Tuta bisa dibilang baru dalam dunia perfilman Indonesia. Film miliknya
hanyalah Catatan Harian Si Boy yang diarahkan langsung olehnya. Tetapi Putrama
Tuta tahu benar bagaimana cara mengarahkan sebuah film.
Kali ini, dalam sebuah genre yang berbeda, Putrama Tuta pun
masih bisa mengarahkannya dengan sangat baik. Film Dokumenter sendiri termasuk
salah satu film yang susah untuk dibuat. Butuh waktu yang cukup banyak untuk
membuat film dengan genre ini. Dengan menghabiskan waktu hingga 1 Tahun,
Putrama Tuta dengan pintar menyusun adegan demi adegan tanpa cerita di film ini
dengan baik dan bisa memainkan emosi penontonnya dengan baik. Membuat saya
bergidik saat menyaksikan adegan demi adegan film ini.
Memang, masih memiliki beberapa kekurangan yang akhirnya
masih membuat Noah : Awal Semula ini sedikit melemah. Seperti yang saya tahu,
bahwa biasanya sebuah film dokumenter dari seorang musisi luar negeri yang
sering digunakan memiliki satu purpose, satu big point yang bisa mengerucutkan film
dokumenter itu menjadi satu pandangan. Karena penceritaan
dari film dokumenter sejatinya memiliki pandangan yang lebih lebar, jika tidak
di kerucutkan, takutnya akan terlalu bersenang-senang dan tidak fokus.
Begitulah yang terjadi di film Noah : Awal Semula ini.
Sebagai penonton awam dengan genre dokumenter ini, satu tujuan atau satu big point itu
rasanya masih terasa blur ketika semua footage itu disusun satu persatu di film
ini. Rasanya, kita masih tidak tahu kemana arah dan tujuan sebenarnya dari
kumpulan-kumpulan footage ini. Kita tidak menemukan jalan tengah yang akan
menuntun kita ke tujuan akhir dari film ini. Putrama Tuta seperti malas
bercerita dalam film dokumenternya sehingga beberapa kumpulan footage itu
terasa seperti berjalan acak.
Sayangnya lagi, kumpulan-kumpulan footage yang disusun itu
tidak memiliki kronologi yang runtut. Hingga akhirnya, bagi penonton film
dokumenter awam seperti saya rasanya seperti kebingungan dengan apa yang
terjadi terhadap Ariel dan kawan-kawan di film itu. Kapan tiba-tiba mereka
berevolusi hingga akhirnya mereka bisa menggapai mimpi mereka? rasanya
kronologi yang masih kurang runtut menjadi problem yang cukup menganggu saya
sebagai orang yang bukan penikmat film dokumenter atau bisa dibilang penonton
awam untuk genre ini.
Its not just a Fans Service. Its Deeper than that.
Tapi, bagaimana akhirnya Putrama Tuta membungkus film ini
dalam satu sajian berdurasi 75 menit patut diacungi jempol. Putrama Tuta
berhasil merangkai footage demi footage di film ini yang mempu menggerakkan dan
mengaduk emosi film ini. Bukan hanya sebuah film dokumenter yang berjalan
straight forward dan berjalan biasa saja dengan kronologi yang runtut. Tidak.
Ini adalah salah satu film musik dokumenter yang mampu membuat saya merinding.
Bagusnya lagi, ini bukan hanya eksploitasi bagi salah satu
musisi yang memiliki fans besar dengan lebih menampilkan semua personilnya
melakukan hal yang senang-senang saja. Serta mengeksploitasi hal gila yang akan dilakukan oleh fansnya. Bukan. Ini lebih mendekatkan kita kepada
sosok band Noah. Bagaimana mereka mengalami pasang surut dalam karirnya. Sebuah
film dokumenter yang universal. Bukan hanya membuat fansnya saja yang bisa
menikmatinya, tetapi juga orang umum yang bukan fans, yang ingin menikmati film
ini.
Sehingga pendekatan Putrama Tuta terkesan lebih berhati-hati
agar tidak jatuh menjadi pendekatan yang lebih dikhususkan kepada fans dari
band Noah saja. Dengan scoring yang megah, beberapa momen hening yang membuat
saya sebagai penonton merasakan hal yang berbeda saat menyaksikan film ini.
Sayangnya, beberapa lagu milik Peterpan ataupun Noah di film ini masih kurang
dilantunkan. Setidaknya 2 atau 3 lagu milik mereka bisa diputar di film ini. Hingga
akan lebih merasakan sebuah nostalgia bagi fans atau penonton umum yang sedang
menyaksikan film ini.
Teknisnya, pengambilan gambar yang hanya menggunakan kamera
5D dan kamera iPhone ini memiliki pendekatan yang berbeda dan unik. Iya, saya
cukup terganggu dengan resolusi gambar yang masih pecah. Apalagi dipaksa untuk
mengikuti aspect ratio 2:39:1 harusnya lebih bagus jika disajikan dalam ratio
1:85:1. Hingga gambar dengan resolusi yang cukup kecil ini tidak terlalu pecah
kalau menurut saya, mungkin akan lebih padat.
Tapi, penggunaan gambar yang terasa mentah itulah yang malah
membuat pendekatan di film ini terasa berbeda. Sehingga semua dokumenter di
film ini memang terasa lebih real atau nyata. Mungkin, Putrama Tuta ingin
membuat Band Noah ini akan merasa lebih dekat kepada semua penonton film ini, tak hanya dikhususkan kepada Fansnya saja. Mungkin pendekatan itu akan berhasil atau mungkin juga tidak.
Overall, Noah : Awal Semula adalah sebuah musik dokumenter
yang membuat saya merinding saat menontonnya. Memang, masih memiliki berbagai
kekurangan yang membuat performa dari film arahan Putrama Tuta ini tidak
sempurna. Tetapi, bagaimana sang sutradara berhasil menyusun dan mengarahkan
kumpulan-kumpulan footage di film ini patut diacungi jempol. Moving!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar