Minggu, 01 September 2013

REVIEW - THE MORTAL INSTRUMENTS : CITY OF BONES


Industri perfilman Hollywood memang sudah bukan hal yang jarang lagi jika mengadaptasi berbagai novel yang sedang bestseller. Tujuh seri Harry Potter, The Twilight Saga, Percy Jackson, dan masih banyak lagi novel bestseller yang diangkat menjadi sebuah motion picture. Dan kali ini, giliran buku milik Cassandra Clare yang diangkat menjadi sebuah film. The Mortal Instruments : City of Bones adalah seri pertama yang diangkat menjadi sebuah film.


 Seorang pemuda bernama Clary (Lily Collins) harus melihat berbagai pengalaman pahit. Dia selalu dibayang-bayangi oleh sebuah lambang. Dan suatu ketika dia melihat seorang pria bernama Jace (Jamie Campbell Power) di dalam sebuah bar di membunuh seseorang. Tapi, hanya Clary lah yang bisa menyaksikan sosok Jace secara nyata. Ternyata, Clary bukanlah seorang mundane (manusia). Dia adalah keturunan dari seorang Shadowhunter.

Ibu dari Clary adalah seorang Shadowhunter. Dia pun di incar oleh musuhnya yaitu Valentine (Jonathan Rhys Meyers) karena membawa Mortal Cup. Ibu Clary pun diculik oleh Valentine. Clary bersama dengan Jace mencoba untuk mencari Ibu tersebut dengan membawanya ke The Institute. The Institute adalah tempat berkumpulnya Shadow Hunter. 

Another failed adapted story from bestseller books.
Kekreatifitasan sesosok sineas hollywood bisa dianggap sangat kurang. Film-filmnya di tahun-tahun ini dan kedepan masih berkutat pada adapted from book atau sekuel atau juga remake dari film-film lama. Tak ada yang salah memang dengan ramuan-ramuan itu. Tapi, jika sang sutradara atau siapapun yang menjadi dalang film tersebut bertanggung jawab dengan karyanya. Bukan hanya menjadi sebuah film pengeruk uang, tapi juga menyajikan sebuah hiburn berkualitas.

Buku bestseller layaknya bukan sebuah jaminan film tersebut juga akan menjadi sebuah film yang berkualitas. Bisa kita ambil contoh, The Twilight Saga. Mana ada satu dari seri mereka yang mempunyai kualitas mumpuni. Hanya menyajikan sebuah drama cinta segitiga menye-menye antara vampir bling bling dan serigala berwajah imut dengan seorang gadis tanpa ekspresi. Ada juga Percy Jackson yang juga bisa dibilang gagal. Beautiful Creatures juga. Dan masih banyak lagi.

Jadi bisa dibilang, mengadaptasi sebuah buku itu gambling. Kalian bisa meng-interpretasi-kan nya ke sebuah gambar bergerak dengan baik atau tidak. Hanya satu banding seratus film adaptasi novel bisa bagus. Harry Potter dan The Hunger Games adalah contoh dari novel fantasi yang berhasil di interpretasikan dengan baik dalam sebuah film. Meskipun, pecinta novel masih saja berkeluh kesah karena masih ada beberapa bagian di novel yang hilang ataupun diganti. Ayolah, Film dan Buku adalah sebuah media fantasi yang berbeda.


Tapi, sepertinya sineas Hollywood masih belum jera. Film-film adaptasi novel yang gagal itu pun setidaknya masih mempunyai massa yang cukup banyak. Jadi, bagi mereka mengadaptasi sebuah novel adalah sebuah aji mumpung untuk mendapatkan uang. And the next victim goes to Cassandra Clare’s book called The Mortal Instruments. The Mortal Instruments terdiri dari 5 Buku. City of Bones selaku kisah awal The Mortal Instruments pun diangkat ke layar lebar.

Harald Zwart pun ditunjuk sebagai pemegang kendali film adaptasi novel ini. Oke, ketika berita proyek film ini muncul ke peredaran saya cukup excited tapi juga cukup cemas. Excited, karena saya cukup menyukai adaptasi novel fantasi meskipun saya tak membaca seri ini. Cemas, karena production house serta track record Sutradara yang masih kurang kompeten dalam menangani film ini. Harald Zwart pun pernah hampir saja gagal me-remake The Karate Kid. Tapi, The Karate Kid cukup bagus menurut saya. Jadi, Saya masih punya pikiran positif untuk proyek ini. 


Dan benar sekali dugaan saya, City Of Bones hanya akan menambah deretan dalam daftar adaptasi sebuah buku yang gagal. Bisa dibilang kualitasnya masih berada di atas Beautiful Cretures dan The Twilight Saga. Tapi, Masih di bawah The Host. Sebenarnya, City Of Bones mampu memberikan cerita yang cukup meyakinkan kita di awal. Sebuah perjalanan yang cukup menarik untuk diikuti. Tapi sayang semua itu tidak berlangsung lama. Ketika durasi 140 menit itu pun mulai mengendurkan tensi dari film ini satu persatu.

Penjabaran cerita film ini pun sebenarnya cukup baik. Hampir background cerita film ini tidak sampai membuat kita bertanya-tanya. Dengan selipan beberapa adegan aksi yang cukup banyak dan visualisasi yang cukup menarik. Sayangnya beberapa penjabaran cerita itu pun terasa sangat acak dengan tensi yang terasa ditarik-ulur. Seketika semua diceritakan begitu cepat tapi pada suatu saat cerita tersebut mulai melambat. Mungkin tak seperti Twilight Saga yang sudah memulai pace ceritanya dengan begitu lambatnya. 

When suddenly a love-flick came in to this movie.

Beberapa hal yang sangat menganggu semua presentasinya yang cukup baik di film ini. Dan hal yang menganggu di film ini adalah sebuah tema percintaan yang ada di film ini. Cinta-cintaan itu pun seperti dipaksakan ada dan menganggu presentasi film ini. Ketika tak adanya ruang untuk memberikan unsur love interest antara Clary dan Jace. Harald Zwart pun seperti menyelipkan unsur cinta-cintaan itu kedalam filmnya. Sayang, bukannya mendapatkan momen yang bagus malah semua itu terkesan kurang pas dalam momennya.

Berbagai momen yang sangat cheesy dalam menyajikan unsur romantis. Mungkin ada beberapa momennya yang cukup sweet. But actually, Jace and Clary in the garden with water showering everywhere. Well, Im Done!. Adegannya begitu cheesy, hanya saja dibangun dengan soundtrack milik Demi Lovato yang cukup ear-catching. Well, prepare a vomit bag for that scene. Entah, mungkin terlalu banyak film Indonesia yang memakai adegan hujan atau basah-basahan menjadi sebuah momen romantis. Jadi adegan itu terasa menganggu ketimbang menyajikan sebuah adegan romantis. 


Belum lagi, konflik percintaannya pun diwarnai dengan kisah-kisah yang twilight-esque. Another love triangle story. Tapi, konflik cinta segitiga ini pun tak digali lebih lagi. Hanya terkesan datang dan berlalu. Mungkin hanya sebuah tempelan saja. Sebuah subplot kecil yang mungkin menjadi sebuah sampingan. Tapi, subplot itu sudah hanya datang saja dan tak tahu pergi kemana. Sebuah subplot yang cukup distracting bagi film ini sendiri.

Aku tidak tahu, apakah memang cerita di novel tentang cerita cinta segitiganya memang seperti ini. Atau ini hanya sebuah tambahan dari para screenwriter yang terdiri dari Cassandra Clare, I Marlene King dan Jessica Postigo Paquette. Karena ini jelas adalah sebuah worst love triangle-flick. Mereka tak bisa menggunakan momen cinta-cintaan itu dengan baik. Tak hanya berhenti disitu. Dialog-dialog yang terkesan naif, stupid, dan cheesy itu pun menjadi sebuah kendala besar di dalam naskah yang ditulis beramai-ramai itu.

Naskah milik mereka itu pun sepertinya tak digarap dengan cukup baik. Toh, masih ada beberapa karakter-karakter cukup penting tapi mereka tak mempunyai character development yang begitu baik. Layaknya sang werewolf, Jeremiah, dan masih banyak lagi. Masih banyak sekali karakter yang mungkin hanya sekedar tempel dan sekedar lewat di film ini. Mungkin jika punya kesempatan, semua itu akan diceritakan lebih baik lagi di seri keduanya. Mungkin


Untungnya, semua kekurangan-kekurangan itu tak sampai jatuh hingga ke dasar jurang. Nyatanya masih ada beberapa plot yang mungkin cukup enak untuk diikuti dan tak sampai jatuh menjadi sebuah bore-fest layaknya Beautiful Creatures atau Twilight Saga. Toh, naskah yang ditulis ramai-ramai itu pun masih mempunyai sebuah jurus jitu di dalam plotnya. Sebuah plot twist yang diberikan cukup mengasyikkan untuk diikuti. Tak malah jatuh berantakan layaknya Beautiful Creatures.

Jajaran pemain mungkin masih bermain dengan biasa saja. Lily Collins memang cukup memikat dengan parasnya yang cantik. Dan sekali lagi, Film ini pun tak jatuh ke dalam sebuah cast ensemble yang buruk layaknya The Twilight Saga. Masih cukup bermain dengan baik. Tapi sayangnya, beberapa nama layaknya Kevin Zegers, Jonathan Rhys Meyers, Lena Headey  dan yang lain hanya mempunyai porsi yang cukup tipis di dalam film ini. Karena spotlight jatuh kepada Lily Collins dan Jamie Campbell Power. 


Soundtrack film ini pun setidaknya mampu menyelamatkan presentasi film ini. Meskipun lirik yang di translate itu cukup menganggu. Pemilihan lagu-lagu dengan love theme yang sangat tepat dan mampu membangun momennya meskipun masih ada yang kelewat cheesy. Song number layaknya ‘When The Darkness Come’ dari Colbie Caillat, ‘Almost Is Never Enough’ dari Arianna Grande, dan ‘Heart By Heart’ dari Demi Lovato di sajikan cukup tepat dalam momennya. 


Overall, The Mortal Instruments : City Of Bones menambah daftar dalam adaptasi novel yang gagal. Tapi, film ini tak jatuh ke dalam dasar jurang layaknya Beautiful Creatures dan The Twilight Saga. Cukup enganging saat permulaan film. Tapi sayangnya semua cerita mengendur dengan pace yang terasa di tarik-ulur. Serta penambahan Love-flick yang sangat menganggu keseluruhan film ini.  

4 komentar:

  1. Maaf mau nanya, perasaan saya waktu saya menonton film ini, sepertinya tidak diputarkan soundtrack yg almost is never enough.. Dan pada akhir film,saya sampai terbengong bengong,"loh mana lagu nya ariana grande?kok tidak diputar.."

    BalasHapus
  2. terimakasih atas informasinya semoga bermanfaat

    BalasHapus
  3. Saya mau tanya dimana letak lagu ariana grande? Perasaan cuman diputar beberapa lagu

    BalasHapus