Industri perfilman Hollywood memang sudah bukan hal yang jarang lagi
jika mengadaptasi berbagai novel yang sedang bestseller. Tujuh seri Harry Potter, The Twilight Saga, Percy Jackson, dan masih banyak lagi novel bestseller yang diangkat menjadi sebuah motion picture. Dan kali ini, giliran
buku milik Cassandra Clare yang
diangkat menjadi sebuah film. The Mortal
Instruments : City of Bones adalah seri pertama yang diangkat menjadi
sebuah film.
Seorang pemuda bernama Clary (Lily Collins) harus melihat berbagai
pengalaman pahit. Dia selalu dibayang-bayangi oleh sebuah lambang. Dan suatu
ketika dia melihat seorang pria bernama Jace (Jamie Campbell Power) di dalam
sebuah bar di membunuh seseorang. Tapi, hanya Clary lah yang bisa menyaksikan
sosok Jace secara nyata. Ternyata, Clary bukanlah seorang mundane (manusia).
Dia adalah keturunan dari seorang Shadowhunter.
Ibu dari Clary adalah seorang Shadowhunter. Dia pun di incar oleh
musuhnya yaitu Valentine (Jonathan Rhys Meyers) karena membawa Mortal Cup. Ibu
Clary pun diculik oleh Valentine. Clary bersama dengan Jace mencoba untuk
mencari Ibu tersebut dengan membawanya ke The Institute. The Institute adalah
tempat berkumpulnya Shadow Hunter.
Another failed adapted story from bestseller books.
Kekreatifitasan sesosok sineas hollywood bisa dianggap sangat kurang.
Film-filmnya di tahun-tahun ini dan kedepan masih berkutat pada adapted from book atau sekuel atau juga remake dari film-film lama. Tak ada yang
salah memang dengan ramuan-ramuan itu. Tapi, jika sang sutradara atau siapapun
yang menjadi dalang film tersebut bertanggung jawab dengan karyanya. Bukan
hanya menjadi sebuah film pengeruk uang, tapi juga menyajikan sebuah hiburn
berkualitas.
Buku bestseller layaknya
bukan sebuah jaminan film tersebut juga akan menjadi sebuah film yang
berkualitas. Bisa kita ambil contoh, The
Twilight Saga. Mana ada satu dari seri mereka yang mempunyai kualitas
mumpuni. Hanya menyajikan sebuah drama cinta segitiga menye-menye antara vampir
bling bling dan serigala berwajah imut dengan seorang gadis tanpa ekspresi. Ada
juga Percy Jackson yang juga bisa
dibilang gagal. Beautiful Creatures
juga. Dan masih banyak lagi.
Jadi bisa dibilang, mengadaptasi sebuah buku itu gambling. Kalian bisa meng-interpretasi-kan nya ke sebuah gambar
bergerak dengan baik atau tidak. Hanya satu banding seratus film adaptasi novel
bisa bagus. Harry Potter dan The Hunger Games adalah contoh dari
novel fantasi yang berhasil di interpretasikan dengan baik dalam sebuah film.
Meskipun, pecinta novel masih saja berkeluh kesah karena masih ada beberapa
bagian di novel yang hilang ataupun diganti. Ayolah, Film dan Buku adalah
sebuah media fantasi yang berbeda.
Tapi, sepertinya sineas Hollywood masih belum jera. Film-film adaptasi
novel yang gagal itu pun setidaknya masih mempunyai massa yang cukup banyak.
Jadi, bagi mereka mengadaptasi sebuah novel adalah sebuah aji mumpung untuk
mendapatkan uang. And the next victim
goes to Cassandra Clare’s book called The
Mortal Instruments. The Mortal
Instruments terdiri dari 5 Buku. City
of Bones selaku kisah awal The Mortal Instruments pun diangkat ke layar lebar.
Harald Zwart pun ditunjuk
sebagai pemegang kendali film adaptasi novel ini. Oke, ketika berita proyek
film ini muncul ke peredaran saya cukup excited
tapi juga cukup cemas. Excited,
karena saya cukup menyukai adaptasi novel fantasi meskipun saya tak membaca
seri ini. Cemas, karena production house
serta track record Sutradara yang
masih kurang kompeten dalam menangani film ini. Harald Zwart pun pernah hampir
saja gagal me-remake The Karate Kid. Tapi, The Karate Kid cukup bagus menurut saya.
Jadi, Saya masih punya pikiran positif untuk proyek ini.
Dan benar sekali dugaan saya, City Of Bones hanya akan menambah
deretan dalam daftar adaptasi sebuah buku yang gagal. Bisa dibilang kualitasnya
masih berada di atas Beautiful Cretures dan The
Twilight Saga. Tapi, Masih di bawah The
Host. Sebenarnya, City Of Bones mampu memberikan cerita yang cukup
meyakinkan kita di awal. Sebuah perjalanan yang cukup menarik untuk diikuti.
Tapi sayang semua itu tidak berlangsung lama. Ketika durasi 140 menit itu pun
mulai mengendurkan tensi dari film ini satu persatu.
Penjabaran cerita film ini pun sebenarnya cukup baik. Hampir background cerita film ini tidak sampai
membuat kita bertanya-tanya. Dengan selipan beberapa adegan aksi yang cukup
banyak dan visualisasi yang cukup menarik. Sayangnya beberapa penjabaran cerita
itu pun terasa sangat acak dengan tensi yang terasa ditarik-ulur. Seketika
semua diceritakan begitu cepat tapi pada suatu saat cerita tersebut mulai
melambat. Mungkin tak seperti Twilight Saga yang sudah memulai pace ceritanya dengan begitu lambatnya.
When suddenly a love-flick came in to this movie.
Beberapa hal yang sangat menganggu semua presentasinya yang cukup baik
di film ini. Dan hal yang menganggu di film ini adalah sebuah tema percintaan
yang ada di film ini. Cinta-cintaan itu pun seperti dipaksakan ada dan
menganggu presentasi film ini. Ketika tak adanya ruang untuk memberikan unsur love interest antara Clary dan Jace. Harald Zwart pun seperti menyelipkan unsur cinta-cintaan itu
kedalam filmnya. Sayang, bukannya mendapatkan momen yang bagus malah semua itu
terkesan kurang pas dalam momennya.
Berbagai momen yang sangat cheesy
dalam menyajikan unsur romantis. Mungkin ada beberapa momennya yang cukup
sweet. But actually, Jace and Clary in
the garden with water showering everywhere. Well, Im Done!. Adegannya
begitu cheesy, hanya saja dibangun
dengan soundtrack milik Demi Lovato
yang cukup ear-catching. Well, prepare a vomit bag for that scene.
Entah, mungkin terlalu banyak film Indonesia yang memakai adegan hujan atau
basah-basahan menjadi sebuah momen romantis. Jadi adegan itu terasa menganggu
ketimbang menyajikan sebuah adegan romantis.
Belum lagi, konflik percintaannya pun diwarnai dengan kisah-kisah yang
twilight-esque. Another love triangle
story. Tapi, konflik cinta segitiga ini pun tak digali lebih lagi. Hanya
terkesan datang dan berlalu. Mungkin hanya sebuah tempelan saja. Sebuah subplot kecil yang mungkin menjadi
sebuah sampingan. Tapi, subplot itu sudah hanya datang saja dan tak tahu pergi kemana.
Sebuah subplot yang cukup distracting
bagi film ini sendiri.
Aku tidak tahu, apakah memang cerita di novel tentang cerita cinta
segitiganya memang seperti ini. Atau ini hanya sebuah tambahan dari para
screenwriter yang terdiri dari Cassandra
Clare, I Marlene King dan Jessica Postigo Paquette. Karena ini jelas adalah
sebuah worst love triangle-flick.
Mereka tak bisa menggunakan momen cinta-cintaan itu dengan baik. Tak hanya
berhenti disitu. Dialog-dialog yang terkesan naif, stupid, dan cheesy itu
pun menjadi sebuah kendala besar di dalam naskah yang ditulis beramai-ramai
itu.
Naskah milik mereka itu pun sepertinya tak digarap dengan cukup baik.
Toh, masih ada beberapa karakter-karakter cukup penting tapi mereka tak
mempunyai character development yang begitu baik. Layaknya sang werewolf,
Jeremiah, dan masih banyak lagi. Masih banyak sekali karakter yang mungkin
hanya sekedar tempel dan sekedar lewat di film ini. Mungkin jika punya
kesempatan, semua itu akan diceritakan lebih baik lagi di seri keduanya.
Mungkin
Untungnya, semua kekurangan-kekurangan itu tak sampai jatuh hingga ke
dasar jurang. Nyatanya masih ada beberapa plot
yang mungkin cukup enak untuk diikuti dan tak sampai jatuh menjadi sebuah bore-fest layaknya Beautiful Creatures atau Twilight
Saga. Toh, naskah yang ditulis ramai-ramai itu pun masih mempunyai sebuah
jurus jitu di dalam plotnya. Sebuah plot
twist yang diberikan cukup mengasyikkan untuk diikuti. Tak malah jatuh
berantakan layaknya Beautiful Creatures.
Jajaran pemain mungkin masih bermain dengan biasa saja. Lily Collins
memang cukup memikat dengan parasnya yang cantik. Dan sekali lagi, Film ini pun
tak jatuh ke dalam sebuah cast ensemble
yang buruk layaknya The Twilight Saga. Masih cukup bermain dengan baik. Tapi
sayangnya, beberapa nama layaknya Kevin Zegers, Jonathan Rhys Meyers, Lena
Headey dan yang lain hanya mempunyai
porsi yang cukup tipis di dalam film ini. Karena spotlight jatuh kepada Lily
Collins dan Jamie Campbell Power.
Soundtrack film ini pun
setidaknya mampu menyelamatkan presentasi film ini. Meskipun lirik yang di
translate itu cukup menganggu. Pemilihan lagu-lagu dengan love theme yang
sangat tepat dan mampu membangun momennya meskipun masih ada yang kelewat cheesy. Song number layaknya ‘When The Darkness Come’ dari Colbie
Caillat, ‘Almost Is Never Enough’
dari Arianna Grande, dan ‘Heart By Heart’
dari Demi Lovato di sajikan cukup tepat dalam momennya.
Overall, The Mortal Instruments : City Of Bones menambah daftar dalam
adaptasi novel yang gagal. Tapi, film ini tak jatuh ke dalam dasar jurang
layaknya Beautiful Creatures dan The Twilight Saga. Cukup enganging saat
permulaan film. Tapi sayangnya semua cerita mengendur dengan pace yang terasa
di tarik-ulur. Serta penambahan Love-flick yang sangat menganggu keseluruhan
film ini.
Maaf mau nanya, perasaan saya waktu saya menonton film ini, sepertinya tidak diputarkan soundtrack yg almost is never enough.. Dan pada akhir film,saya sampai terbengong bengong,"loh mana lagu nya ariana grande?kok tidak diputar.."
BalasHapusterimakasih atas informasinya semoga bermanfaat
BalasHapusinformasi yang menarik,,.
BalasHapusSaya mau tanya dimana letak lagu ariana grande? Perasaan cuman diputar beberapa lagu
BalasHapus